Kamis, 23 Februari 2012

TBS Tempoe Doeloe


               Madrasah NU TBS Kudus berdiri pada hari Rabu Pon 7 Jumadil Akhir 1340 H bertepatan 21 November 1928 M. Dua tahun setelah berdirinya Nahdlatul Ulama’. Semula namanya adalah Madrasah Tasywiquth Thullab dengan singkatan TB yang artinya “Gandrungnya Para Pelajar” mengapa dengan singkatan TB bukan TT?, menurut dari masyayikh saat itu leter kendaraan kota Kudus itu KS, (becak, dokar, motor) diambil muka dan belakang dari kata Kudus. Dulunya TBS adalah berupa pondok pesantren.  Semula di dukuh Balaitengahan kecamatan Kota, 500 m dari pusat kota Kudus. Tetapi sekarang ini sudah berlokasi di 4 dukuh dalam 2 desa yakni di dukuh Balaitengahan, di dukuh Nanggungan, di desa Langgardalem. Dukuh Bejen dan dukuh Kajeksan di desa Kajeksan.
              Dulunya lokasi TBS adalah berupa Ibtida’iyyah dan Pondok-Pesantren milik KH. Ma’mun Ahmad, dan kelasnya hanya sedikit tidak seperti sekarang. “agak melebar sedikit muride rodo akeh, aku dewe tsanawine neng masjid Balaitengahan belum di bangun koyo sakiki lan kelas tigaku iku di cepitan mesjid pondok al_mukti madepe ngulon ”, ujar putra KH. Turaichan  Adjhuri yang sekarang menjabat Ketua Pengurus TBS. Awal mula berdiri dahulu istilahnya tidak qismul awal,  mulanya itu shifir (nol.red) awal sampai  shifir salits. Kemudian qismul awal sampai qismul khomis dan belum ada Tsanawiyyah dan qismul khomis (kelas lima.red) mutunya melebihi Madrasah Aliyah sekarang, sebab antara guru dan murid ketika surat menyurat seperti surat korespondensi itu menggunakan bahasa arab tanpa titik, tulisan seperti itukan tidak bisa membedakan antara fa dan qof, jim, kha, kho’, dal dan dzal. Tetapi lain halnya dengan santri TBS tempo doeloe, mereka mampu membaca, mengartikan, dan membedakan, itulah kualitas TBS dahulu bila dibandingkan dengan sekarang, bisa dikatakan  melulu pelajaran agama (dominan bahasa arab).

Kalau berbicara nama sekolah, sekolah kita mengalami perkembangan nama yaitu :

Pertama, “Tasywiquth Thullab ” TB tahun 1928
Kedua, “Tasywiquth Thullab School” TBS tahun 1934
Ketiga, “Taswiquth Thullab Salafiyyah” TBS tahun 1972-sekarang.

I. Tasywiquth Thullab School

Madrasah yang lahir di tengah zaman penjajahan kolonial Belanda, bertempat di dekat Menara Kudus atau makam Sunan Kudus + 600 meter. Berganti nama menjadi Tasywiquth Thullab School asalnya Tasywiquth Thullab ditambah kata School dari KH. Abdul Jalil (ahli falak nasional) alumni perguruan tinggi Saudi Arabia sepulang beliau pada tahun 1934, penambahan tersebut guna mengelabuhi bangsa Belanda. Karena madrasah–madrasah zaman dulu banyak dibubarkan.  Bukan hanya itu saja, pada saat itu pula dimasukkan pelajaran-pelajaran umum dengan maksud agar para siswa dapat menguasai  berbagai disiplin ilmu sehingga berani menghadapi penjajah serta mampu menjadi pemimpin agama dan negara. Tempat belajar tidak lagi di pondok, melainkan berpindah sebuah bangunan berpisah dari pondok. Sistem ini merupakan cikal bakal kelahiran madrasah wajib belajar atau sekarang dikenal dengan nama Madrasah Ibtida’iyyah TBS Kudus.

II. Tasywiquth Thullab Salafiyyah
Pasca kemerdekaan Indonesia TBS masih menggunakan kata school, kemudian atas dasar alasan yang bermunculan bahwa kata school disorot kebanyakan masyarakat masih berbau kolonial belanda, maka pada tahun 1982 melalui banyak perundingan dari pengurus madrasah lalu sowan menghadap penasehat madrasah guna meminta pertimbangan serta saran atas dirubahnya kata school lalu digantilah school menjadi salafiyyah,  ketika itu ada 2 pilihan yaitu Sunniyyah dan Salafiyyah lalu oleh beliau KH. Turaichan Adjhuri lebih cenderung menggunakan salafiyyah karena berdasar pada nadhom berikut yang diambil dari kitab Jauhar Tauhid ;
فكلّ خير في اتباع من سلف # وكل شرّ في ابتداء من خلف
وكلّ هدي للنّبيّ قد رجح #  فما ابيح افعل ودع ما لم يبح
فتا بع الصا لح ممّن سلفا # وجانب البدعة ممّن خلفا
dan singkatan masih tetap TBS. Karena kata TBS sudah sangat dikenal dimasyarakat Kudus.

Budaya dan Tradisi TBS Tempo Doeloe

 Sarungan merupakan tradisi berpakaian santri tempo doeloe sebagai identitas khas santri. Pakaian mereka bebas.  Ada yang memakai jas, payama (pijamas.red), baju koko, dll. Sarung mereka ada yang tenun, batik, dll. Selain waktu dulu masih dijajah Belanda dan TBS hanya merupakan sebuah pesantren kecil, pakaian mereka hanya ala kadarnya. Sampai sekitar tahun 80-an santri TBS masih menggunakan sarung. Dan jarang sekali yang mempunyai celana. Seperti yang di utarakan romo KH.Choirozyad TA. “Saya itu lho, waktu sekolah dulu hampir ndak punya celana, malahan kalau pakai celana itu rasanya isin (malu.red) dan aku punya celana ketika kelas 2 Tsanawy, itupun bukan tuntutan dari sekolah, sebab waktu itu aku melu-melu jadi panitia muludan ”. Kegiatan PHBI TBS tempo doeloe sering dilakukan saat malam hari.

Santri yang tidak punya kopiyah, mereka memanfaatkan kloso (tikar.red) yang terbuat dari daun pandan dibuat menjadi kopiyah. Dan tidak ada yang memakai kopiyah putih, kecuali yang sudah haji. Dan pada zaman Jepang yang tidak punya baju, mereka memanfaatkan kadut (karung tebal berwarna cokelat.red) sebagai baju mereka. Memakai kopiyah yang sudah tidak layak pakai, dikombinasi dengan sarung, dan baju muslim ala santri menandakan ciri khas santri tempo doeloe. Sandal jepit merupakan alas kaki yang terbilang mentereng pada kalangan santri djaman doeloe.

Buku yang digunakan untuk belajar adalah buku merang dan yang dipakai untuk menulis adalah mangsi (tinta.red), tinta tersebut dikemas dalan tempat yang terbuat dari kuningan, pemakaian alat tulis tersebut kira-kira sampai sekitar tahun 60-an. Dulu yang mempunyai bolpoin/pen jarang sekali, sering kali banyak pencopet pen yang berpatroli, terutama di pasar Kliwon tjap pen yang elite tempo doeloe seperti Pilot, Rotaks, Parker. Begitu juga yang punya arloji atau jam tangan sangat langka sekali.

Pembelajaran di TBS Doeloe
    Dahulu TBS kalau ujian atau ulangan yang membuat soal adalah guru dari luar madrasah seperti dari Rembang, Jombang, dll. Sehingga santri tidak mengerti materi yang diujikan. Sehingga proses belajar mereka untuk mengahadapi ujian sangat  serius sekali seperti umpamanya yang akan diujikan adalah bab fiqih, maka yang dipelajari santri adalah semua kitab fiqih mulai dari kitab Sulam at-Taufiq, Taqrib, dll. Karena khawatir kalau yang keluar nanti kitab yang tidak ia pelajarai, maka guna mengantisipasi hal tersebut terjadi dipelajarilah semua kitab fiqih yang ada.

     Tidak ada istilah pembatasan dalam hal ulangan atau ujian. “Jadi ulangan itu sewaktu-waktu, jika ustadznya mau imtihan (ulangan.red) hari itu juga ulangannya” kata romo KH.Ma’ruf Irsyad. Itulah yang membuktikan kalau santri dahulu itu selalu siap setiap saat, tidak ada hari tanpa belajar. Semua itu tanpa perintah dari sang guru. Dan apabila sang santri tidak berangkat sekolah, ia merasa tertinggal materi pelajaran, lalu ia menambal materi dengan temannya.

     Seleksi ketat. Sejak dulu sistem penyaringan santri baru dalam pendidikan di Madrasah NU TBS dikenal sangat ketat. Dengan alasan santri baru dari luar  TBS masih dianggap kurang memadai untuk masuk ke TBS. Sistem ini masih berlaku sampai sekarang, yakni MPTs (Madrsah Persipan Tsanawiyyah) dan MPA (Madrasah Persiapan Aliyyah)

     Model seleksi masih sederhana, seleksi berupa : Imlak, Pegon, Ilmu Hitung, Tauhid. Dan dahulu kalau bisa lulus seleksi, masuk kelas 3 Ibtida’iyyah, padahal murid-murid yang masuk TBS adalah lulusan SR (Sekolah Rakyat)/setara dengan SD, mereka masih diwajibkan mengulang, dikarenakan masih kurang ilmunya.

                     Hafalan dulunya itu tidak diwajibkan karena dulunya semua siswa dikelas secara tidak langsung sudah menghafalkan sendiri tanpa komando dari sang guru. Dan hafalan bukan merupakan ketentuan naik kelas. Seperti hafalan  nadhom khulashoh al-Fiyyah, tidak menjadi ketentuan kenaikan kelas, tetapi mereka tetap menghafalkan. Ini menandakan keseriusan dalam tholabul ilmi (mencari ilmu.red)

                       Dahulu mayoritas pelajaran yang di ajarkan adalah pelajaran agama, walaupun begitu tidak menutup pelajaran umum untuk diajarkankan di Madrasah NU TBS. Seperti Hisab (Matematika), Riyadhoh (Olah Raga), Ilmu Hayyat (Flora dan Fauna), Bahasa Belanda (yang dulunya diajarkan oleh Den Moeslam), dan Ilmu Bumi.

                  Muthola’ah kelompok adalah tradisi yang sudah punah di TBS. Dulunya kelompok ini melakukan kegiatanya seminggu sekali, bertempat di rumah-rumah anggotanya secara bergiliran. Kegiatan ini bermanfaat besar dalam pengkajian kitab di luar sekolah.

Ciri Khas Asatidz TBS Tempo Doeloe
Guru yang mengajar zaman dahulu sangat sedikit, bisa dikatakan jumlah guru sama dengan jumlah kelas, karena setiap hari masuk full. Ciri khas guru-guru TBS tempo doeloe adalah menjajaki kecerdasan santri  sejauh mana pelajaran yang sudah diserap oleh santri, tidak hanya hafalanya saja yang diuji, KH. Turaichan Adjhuri ketika itu mengucapkan; بسم الله الر حمن الرحيم  lalu bertanya pada santri itu  “fai’ilnya mana?” tapi pertanyaan itu hanya untuk menguji para santri karena memang tidak ada fa’ilnya. Selain disuruh mencari fa’ilnya  siswa juga disuruh mengi’rob yang lengkap dan mengi’lal kalau perlu dalam lafadz basmalah tersebut. Bagi santri yang benar-benar cerdas, dia tidak akan mau untuk mencari fa’ilnya “untuk apa dicari wong memang tidak ada fa’ilnya”, ujar Romo KH.Ma’ruf Irsyad.

Sistem ujian/imtihan ditulis guru langsung dipapantulis, kemudian santri menjawab, kadang memakai sistem dekte karena berdalih supaya santri satu dengan yang lain tidak saling contek-mencontek.
Mayoritas guru TBS berkediaman didekat madrasah. Alat transportasi zaman doeloe memang masih sederhana tidak ada guru yang mempunyai sepeda motor, adanya sepeda, tetapi sepedanya zaman doeloe yakni sepeda Really yang bunyinya crik-crik dan tergolong sepeda paling bagus dan mentereng. Dan sekarang sudah langka bisa dikatakan sudah tidak ada.

Ujian Negara
Khilaful ‘aimmah rohmatul ummah, artinya ; perbedaan para ulama’ merupakan rohmat bagi para ummat. Dalil tersebut dialami juga oleh madrsah kita, perbedaan itu adalah mengenai masalah Ujian Negara yang memang dari dulunya madrasah kita belum pernah mengikuti Ujian Negara secara mandiri. Persepsi  beliau KH. Ma’mun Ahmad kalau ikut ujian nasional akan menjadi pegawai negeri, maka dari itu romo yai Ma’mun Ahmad melarang santri TBS mengikuti Ujian Negara, beralasan bahwa santri dalam tholabul ‘ilmi tidak ikhlas karena masih mengharap mendapat ijazah

Sumber :
Ø  KH. Khoiruzyad, TA
Ø  KH. Ma’ruf Irsyad
Ø  H. Musthafa Imron, SHI

Oleh :
Ø  M. Abdul Muhith
Ø  Ahmad Jauharuddin Ali

0 komentar:

Posting Komentar

About Magazine

Foto saya
ATH THULLAB adalah majalah tahunan Madrasah NU TBS Kudus, yang di terbitkan oleh segenap PP-IPNU MA NU TBS. ATH THULLAB sekarang sudah mengijak pada edisi 17 dengan tampilan yang apik dan mengalami rovolusi serta pembaruan di berbagai rubrik. Akhir kata, Selamat membaca..

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More