Madrasah NU TBS Kudus berdiri pada hari Rabu Pon 7 Jumadil Akhir 1340 H bertepatan 21 November 1928 M. Dua tahun setelah berdirinya Nahdlatul Ulama’. Semula namanya adalah Madrasah Tasywiquth Thullab dengan singkatan TB yang artinya “Gandrungnya Para Pelajar” mengapa dengan singkatan TB bukan TT?, menurut dari masyayikh saat itu leter kendaraan kota Kudus itu KS, (becak, dokar, motor) diambil muka dan belakang dari kata Kudus. Dulunya TBS adalah berupa pondok pesantren. Semula di dukuh Balaitengahan kecamatan Kota, 500 m dari pusat kota Kudus. Tetapi sekarang ini sudah berlokasi di 4 dukuh dalam 2 desa yakni di dukuh Balaitengahan, di dukuh Nanggungan, di desa Langgardalem. Dukuh Bejen dan dukuh Kajeksan di desa Kajeksan.
Kalau
berbicara nama sekolah, sekolah kita mengalami perkembangan nama yaitu :
Pertama, “Tasywiquth Thullab ” TB tahun 1928
Kedua, “Tasywiquth Thullab School” TBS tahun 1934
Ketiga, “Taswiquth Thullab Salafiyyah” TBS tahun 1972-sekarang.
I.
Tasywiquth Thullab School
Madrasah yang lahir di tengah zaman penjajahan kolonial
Belanda, bertempat di dekat Menara Kudus atau makam Sunan Kudus + 600
meter. Berganti nama menjadi Tasywiquth Thullab School asalnya Tasywiquth
Thullab ditambah kata School dari KH. Abdul Jalil (ahli falak nasional) alumni
perguruan tinggi Saudi Arabia sepulang beliau pada tahun 1934, penambahan
tersebut guna mengelabuhi bangsa Belanda. Karena madrasah–madrasah zaman dulu
banyak dibubarkan. Bukan hanya itu saja,
pada saat itu pula dimasukkan pelajaran-pelajaran umum dengan maksud agar para
siswa dapat menguasai berbagai disiplin
ilmu sehingga berani menghadapi penjajah serta mampu menjadi pemimpin agama dan
negara. Tempat belajar tidak lagi di pondok, melainkan berpindah sebuah
bangunan berpisah dari pondok. Sistem ini merupakan cikal bakal kelahiran
madrasah wajib belajar atau sekarang dikenal dengan nama Madrasah Ibtida’iyyah
TBS Kudus.
II. Tasywiquth
Thullab Salafiyyah
Pasca kemerdekaan Indonesia TBS masih menggunakan kata
school, kemudian atas dasar alasan yang bermunculan bahwa kata school disorot
kebanyakan masyarakat masih berbau kolonial belanda, maka pada tahun 1982
melalui banyak perundingan dari pengurus madrasah lalu sowan menghadap
penasehat madrasah guna meminta pertimbangan serta saran atas dirubahnya kata
school lalu digantilah school menjadi salafiyyah, ketika itu ada 2 pilihan yaitu Sunniyyah dan
Salafiyyah lalu oleh beliau KH. Turaichan Adjhuri lebih cenderung menggunakan
salafiyyah karena berdasar pada nadhom berikut yang diambil dari kitab Jauhar
Tauhid ;
فكلّ خير في اتباع من سلف # وكل شرّ في ابتداء من خلف
وكلّ هدي للنّبيّ قد رجح #
فما ابيح افعل ودع ما لم يبح
فتا بع الصا لح ممّن سلفا # وجانب البدعة ممّن خلفا
dan
singkatan masih tetap TBS. Karena kata TBS sudah sangat dikenal dimasyarakat
Kudus.
Budaya dan Tradisi
TBS Tempo Doeloe
Sarungan
merupakan tradisi berpakaian santri tempo doeloe sebagai identitas khas santri.
Pakaian mereka bebas. Ada yang memakai jas,
payama (pijamas.red), baju koko, dll. Sarung mereka ada yang tenun,
batik, dll. Selain waktu dulu masih dijajah Belanda dan TBS hanya merupakan
sebuah pesantren kecil, pakaian mereka hanya ala kadarnya. Sampai sekitar tahun
80-an santri TBS masih menggunakan sarung. Dan jarang sekali yang mempunyai
celana. Seperti yang di utarakan romo KH.Choirozyad TA. “Saya itu lho, waktu
sekolah dulu hampir ndak punya celana, malahan kalau pakai celana itu rasanya
isin (malu.red) dan aku punya celana ketika kelas 2 Tsanawy, itupun
bukan tuntutan dari sekolah, sebab waktu itu aku melu-melu jadi panitia
muludan ”. Kegiatan PHBI TBS tempo doeloe sering dilakukan saat malam hari.
Santri yang tidak punya kopiyah, mereka memanfaatkan
kloso (tikar.red) yang terbuat dari
daun pandan dibuat menjadi kopiyah. Dan tidak ada yang memakai kopiyah putih,
kecuali yang sudah haji. Dan pada zaman Jepang yang tidak punya baju, mereka
memanfaatkan kadut (karung tebal berwarna cokelat.red) sebagai
baju mereka. Memakai kopiyah yang sudah tidak layak pakai, dikombinasi dengan
sarung, dan baju muslim ala santri menandakan ciri khas santri tempo doeloe.
Sandal jepit merupakan alas kaki yang terbilang mentereng pada kalangan santri
djaman doeloe.
Buku yang digunakan untuk belajar adalah buku merang
dan yang dipakai untuk menulis adalah mangsi (tinta.red), tinta
tersebut dikemas dalan tempat yang terbuat dari kuningan, pemakaian alat tulis
tersebut kira-kira sampai sekitar tahun 60-an. Dulu yang mempunyai bolpoin/pen
jarang sekali, sering kali banyak pencopet pen yang berpatroli, terutama di
pasar Kliwon tjap pen yang elite tempo doeloe seperti Pilot, Rotaks, Parker.
Begitu juga yang punya arloji atau jam tangan sangat langka sekali.
Pembelajaran di TBS
Doeloe
Dahulu
TBS kalau ujian atau ulangan yang membuat soal adalah guru dari luar madrasah
seperti dari Rembang, Jombang, dll. Sehingga santri tidak mengerti materi yang
diujikan. Sehingga proses belajar mereka untuk mengahadapi ujian sangat serius sekali seperti umpamanya yang akan
diujikan adalah bab fiqih, maka yang dipelajari santri adalah semua kitab fiqih
mulai dari kitab Sulam at-Taufiq, Taqrib, dll. Karena khawatir kalau yang
keluar nanti kitab yang tidak ia pelajarai, maka guna mengantisipasi hal
tersebut terjadi dipelajarilah semua kitab fiqih yang ada.
Tidak
ada istilah pembatasan dalam hal ulangan atau ujian. “Jadi ulangan itu
sewaktu-waktu, jika ustadznya mau imtihan (ulangan.red) hari itu
juga ulangannya” kata romo KH.Ma’ruf Irsyad. Itulah yang membuktikan kalau
santri dahulu itu selalu siap setiap saat, tidak ada hari tanpa belajar. Semua
itu tanpa perintah dari sang guru. Dan apabila sang santri tidak berangkat
sekolah, ia merasa tertinggal materi pelajaran, lalu ia menambal materi dengan
temannya.
Seleksi
ketat. Sejak dulu sistem penyaringan santri baru dalam pendidikan di Madrasah
NU TBS dikenal sangat ketat. Dengan alasan santri baru dari luar TBS masih dianggap kurang memadai untuk masuk
ke TBS. Sistem ini masih berlaku sampai sekarang, yakni MPTs (Madrsah Persipan
Tsanawiyyah) dan MPA (Madrasah Persiapan Aliyyah)
Model
seleksi masih sederhana, seleksi berupa : Imlak, Pegon, Ilmu Hitung, Tauhid.
Dan dahulu kalau bisa lulus seleksi, masuk kelas 3 Ibtida’iyyah, padahal
murid-murid yang masuk TBS adalah lulusan SR (Sekolah Rakyat)/setara dengan SD,
mereka masih diwajibkan mengulang, dikarenakan masih kurang ilmunya.
Hafalan
dulunya itu tidak diwajibkan karena dulunya semua siswa dikelas secara tidak
langsung sudah menghafalkan sendiri tanpa komando dari sang guru. Dan hafalan
bukan merupakan ketentuan naik kelas. Seperti hafalan nadhom khulashoh al-Fiyyah, tidak menjadi
ketentuan kenaikan kelas, tetapi mereka tetap menghafalkan. Ini menandakan
keseriusan dalam tholabul ilmi (mencari ilmu.red)
Dahulu
mayoritas pelajaran yang di ajarkan adalah pelajaran agama, walaupun begitu
tidak menutup pelajaran umum untuk diajarkankan di Madrasah NU TBS. Seperti
Hisab (Matematika), Riyadhoh (Olah Raga), Ilmu Hayyat (Flora dan Fauna), Bahasa
Belanda (yang dulunya diajarkan oleh Den Moeslam), dan Ilmu Bumi.
Muthola’ah
kelompok adalah tradisi yang sudah punah di TBS. Dulunya kelompok ini melakukan
kegiatanya seminggu sekali, bertempat di rumah-rumah anggotanya secara
bergiliran. Kegiatan ini bermanfaat besar dalam pengkajian kitab di luar
sekolah.
Ciri Khas Asatidz TBS Tempo Doeloe
Guru yang mengajar zaman
dahulu sangat sedikit, bisa dikatakan jumlah guru sama dengan jumlah kelas,
karena setiap hari masuk full. Ciri khas guru-guru TBS
tempo doeloe adalah menjajaki kecerdasan santri
sejauh mana pelajaran yang sudah diserap oleh santri, tidak hanya
hafalanya saja yang diuji, KH. Turaichan Adjhuri ketika itu mengucapkan; بسم
الله الر حمن الرحيم lalu bertanya pada
santri itu “fai’ilnya mana?” tapi
pertanyaan itu hanya untuk menguji para santri karena memang tidak ada
fa’ilnya. Selain disuruh mencari fa’ilnya
siswa juga disuruh mengi’rob yang lengkap dan mengi’lal kalau perlu
dalam lafadz basmalah tersebut. Bagi santri yang benar-benar cerdas, dia tidak
akan mau untuk mencari fa’ilnya “untuk apa dicari wong memang tidak ada
fa’ilnya”, ujar Romo KH.Ma’ruf Irsyad.
Sistem ujian/imtihan ditulis guru langsung
dipapantulis, kemudian santri menjawab, kadang memakai sistem dekte karena
berdalih supaya santri satu dengan yang lain tidak saling contek-mencontek.
Mayoritas guru TBS berkediaman didekat madrasah. Alat
transportasi zaman doeloe memang masih sederhana tidak ada guru yang mempunyai
sepeda motor, adanya sepeda, tetapi sepedanya zaman doeloe yakni sepeda Really
yang bunyinya crik-crik dan tergolong sepeda paling bagus dan mentereng.
Dan sekarang sudah langka bisa dikatakan sudah tidak ada.
Ujian Negara
Khilaful ‘aimmah
rohmatul ummah, artinya ; perbedaan para ulama’
merupakan rohmat bagi para ummat. Dalil tersebut dialami juga oleh madrsah
kita, perbedaan itu adalah mengenai masalah Ujian Negara yang memang dari
dulunya madrasah kita belum pernah mengikuti Ujian Negara secara mandiri.
Persepsi beliau KH. Ma’mun Ahmad kalau
ikut ujian nasional akan menjadi pegawai negeri, maka dari itu romo yai Ma’mun
Ahmad melarang santri TBS mengikuti Ujian Negara, beralasan bahwa santri dalam
tholabul ‘ilmi tidak ikhlas karena masih mengharap mendapat ijazah
Sumber :Ø KH. Khoiruzyad, TAØ KH. Ma’ruf IrsyadØ H. Musthafa Imron, SHIOleh :Ø M. Abdul MuhithØ Ahmad Jauharuddin Ali
0 komentar:
Posting Komentar