Kamis, 23 Februari 2012

Sesal Dalam Rindu


Sebuah Cerpen untuk Anak Berbudi Luhur
By: Muhammad Fahmil Huda*


Bagi orang-orang, ibu kandung adalah sosok yang sangat mulia. Dia adalah orang yang paling berjasa bagi manusia. Sebab, tanpanya tak akan ada kehidupan di dunia ini. Dia adalah orang yang pantas mendapatkan penghormatan dan pengabdian seorang anak. Dia adalah orang yang harus dicintai dengan sepenuh hati. Namun, tidak demikian bagiku. Bagiku ibu adalah orang yang paling kubenci. Dia adalah orang yang seharusnya berada di neraka sekarang. Dia seharusnya meringkuk di dalam penjara.

“Fatah, kamu dimana Nak?” teriak Mama membangunkan lamunanku.
“Iya Ma,” aku segera turun dari jendela dan keluar kamar menuju ruang tamu. “Ada apa Ma?” tanyaku kemudian.
“Ikut Mama yuk, ke pasar.” jawab mamaku.
“OK Ma, aku ambil topi dan jaket dulu ya Ma,” kataku sambil berlari kembali ke kamarku.

Mama, ya, aku memang memanggilnya dengan nama itu. Akan tetapi, sebenarnya dia bukan ibu kandungku. Dia adalah adik ibuku. Aku sudah menganggapnya sebagai ibuku sendiri semenjak empat belas tahun lalu, saat aku berumur empat tahun. Ketika itu ibuku membawa seorang lelaki hidung belang ke rumah. Tidak disangka ayahku pulang cepat dan memergoki mereka berdua sedang bermesraan di kamar. Penyakit asma ayahku kambuh dan dia langsung meninggal di depan kamar. Ibuku terlihat kaget saat melihatnya. Dia menangis dan memeluk tubuh ayahku yang sudah tak bernyawa. Melihat ibuku menangis, akupun ikut menangis. Lelaki hidung belang yang bersama ibuku terlihat agak ketakutan. Akhirnya dia mengajak ibuku kabur bersamanya meninggalkanku sendirian bersama jasad ayahku.

* * *
Cuaca pagi itu sangat cerah. Ada awan tipis yang menutupi matahari sehingga kami tidak terlalu kepanasan. Mamaku belanja cukup banyak. Aku membawakan barang belanjaannya yang berada di tas besar. Beratnya kira-kira lima kilo.
“Kamu haus nggak Ta, kita mampir dulu yuk ke warung es cendol di sana” kata mamaku sambil menunjuk sebuah warung di pinggiran pasar.
“Boleh, ayo Ma. Tapi sekalian gorengannya ya,” kataku manja.
“Iya, kamu boleh pilih apa saja kesukaanmu. Kan kamu sudah bantu Mama membawa barang belanjaan,” kata mamaku.

Aku tersenyum mendengarnya. Kami segera masuk ke dalam warung dan memesan dua gelas es cendol. Segera kubaca basmalah dan kuminum es cendol itu. Wush... rasanya begitu segar. Aku seperti merasakan minuman yang berasal dari surga. Memang benar, sesuatu akan terasa nikmat bila didahului dengan pengorbanan.
“Bu, sedekahnya Bu, kasihani saya,” kata seorang perempuan berjilbab saat kami sedang asyik meminum es.
Mamaku segera merogoh tas kecilnya dan mengeluarkan uang lima ribuan. “Ini, semoga cukup untuk membeli makanan,” katanya kepada perempuan yang sedang menundukkan wajahnya itu.
“Terima kasih Bu, semoga Allah membalas amal baik ibu.” kata perempuan itu sambil beranjak pergi menuju tengah pasar.
Kami berdua mengamini doa perempuan itu. Aku melihat wajah wanita itu sekilas. Dan, masya’allah, aku kenal wajah itu. Wajah itu sangat aku ingat dan tak mungkin bisa aku lupakan. Itu adalah...
“Ibu, tunggu!” teriakku sambil melambaikan tangan kepadanya.
Bukannya berbalik, perempuan itu justru berlari dengan kencang. Aku beranjak dari tempat dudukku untuk mengejar perempuan itu. Tetapi, mamaku langsung memegang tanganku.
“Ada apa Nak? Kamu kenal dengan perempuan itu?” tanya mamaku penasaran.
“Ma, itu Mama. Maksudku itu Mama Indah Ma, ibu kandungku!” jawabku dengan tergesa-gesa.
“Apa? Benarkah? Kalau gitu kamu cepat kejar dia sebelum dia menghilang!” kata mamaku.
“Iya Ma.” Kataku sambil berlari mengejarnya.

Entah mengapa, aku begitu ingin bertemu dengannya. Padahal aku sudah bersumpah tidak akan peduli dengan apapun yang dilakukannya. Aku sudah bersumpah tidak akan memaafkannya. Namun, begitu aku melihat wajahnya tadi tiba-tiba mucul sebuah kerinduan yang sangat besar dalam hatiku. Aku merasa seperti baru bertemu dengan orang yang sangat aku kasihi setelah bertahun-tahun tidak bertemu.

Aku berlari sekuat tenaga mengejarnya. Akhirnya aku bisa melihatnya sedang berlari di antara para pembeli di pasar. Aku terus mengejarnya, berdesak-desakan dengan para pembeli. Jarak kami hanya tinggal lima meter. Namun, tidak kusangka ibuku akan berlari menerobos sekumpulan gadis muda yang cantik-cantik dan berpakaian mini. Aku tidak berani untuk menerobos mereka sehingga aku pilih jalan memutar meski agak jauh.

Aku kehilangan jejak ibuku. Hatiku sungguh terasa sakit. Kenapa dia berlari dariku? Apakah dia pikir aku akan benci padanya setelah apa yang diperbuatnya pada ayah? Ya Allah, maafkanlah aku karena telah membencinya Ya Allah. Sekarang aku sadar bahwa betapapun jahatnya seorang ibu, dia tetap ibuku yang pantas untuk aku cintai dan aku sayangi. Oh, Ibu, kemanakah Engkau? Anakmu ini sangat rindu bertemu denganmu...
* * *
“Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikumussalam warohmatullah. Fatah, gimana Nak, kamu berhasil bertemu dengan ibumu?” tanya mamaku sambil memelukku.
Aku hanya menggeleng. Tangisku meledak. Aku tidak kuasa menahan rindu yang kurasakan. Ingin sekali rasanya aku bertemu dengannya dan memeluknya seperti ini. Akan tetapi, sekarang aku tidak tahu dimana dia berada.
“Sudahlah Nak, kamu jangan sedih. Suatu saat nanti pasti kamu akan bertemu dan berkumpul lagi bersamanya. Kamu jangan khawatir, ayah tahu ibumu juga pasti rindu denganmu,” kata ayahku menghiburku.
“Ya sudah, sekarang kita makan dulu yuk. Mama sudah masak sambel tempe kesukaanmu. Mama tadi juga membawa pulang gorengan yang kamu minta.” Kata mamaku sambil mengusap air mataku.
Kami menuju meja makan. Mama mengambilkanku sepiring nasi beserta sayur kunci dan sambel tempe. Aku paling suka makanan itu. Namun, entah mengapa siang itu aku tidak bernafsu sedikitpun. Baru tiga sendok, aku sudah merasa kenyang. Aku memikirkan ibukuu. Bagaimana dia sekarang? Apakah dia sudah makan? Apakah dia bisa makan enak? Tadi kulihat dia meminta-minta. Apakah dia bisa makan setiap hari? Air mataku kembali membasahi pipiku.
“Ata, dimakan dong makanannya sayang. Kalau kamu tidak mau makan, nanti kamu sakit. Kalau kamu sakit kan kamu tidak bisa mencari ibumu. Mama janji deh, besok mama dan papa akan bantu kamu mencari mama Indah. Tapi sekarag kamu makan ya, biar besok kamu punya tenaga untuk mencarinya seharian.” Kata mamaku mencoba menghiburku.

Kata-kata mama sedikit menghiburku. Aku makan dengan disuapi olehnya. Meski begitu, aku tidak bisa merasakan kelezatan masakan mama. Rasanya hambar. Di dalam hatiku aku bersyukur sekali memiliki mama dan papa angkat yang sangat baik kepadaku. Mereka benar-benar menyayangiku seperti anak mereka sendiri. Kalau saja mereka punya anak kandung, pasti anak itu adalah anak yang paling beruntung di dunia. Dan aku tidak tahu bagaimana perasaan mereka jika suatu hari nanti aku meninggalkan mereka.
* * *
Pagi itu kami melakukan pencarian mama Indah. Kami memulai pencarian dari pasar. Kami membawa foto mama dan menanyakan kepada setiap pedagang apakah mereka tahu keberadaanya. Lima jam kami mencari dan hasilnya nihil.
“Ata, kita pulang yuk. Kita lanjutkan pencarian setelah shalat Jumu’ah,” kata ayah.
“Iya yah” kataku dengan nada lesu.
“Jangan lesu dong, semangat! Kita kan mau beribadah, jadi harus dengan segenap hati. Jangan sampai ibadah kita terganggu.” Kata ayah menyemangatiku.

Hatiku tersentuh mendengarnya. Benar kata ayah, aku boleh sedih, tetapi aku tidak boleh membiarkan kesedihanku mengganggu ibadahku. Setelah pulang dan mandi, aku berangkat ke masjid dengan membawa seribu semangat dan seribu satu pengharapan.

Di dalam masjid aku mendengarkan khutbah dengan seksama. Entah mengapa, saat itu aku tidak mengantuk sedikitpun. Padahal biasanya aku selalu mengantuk saat mendengarkan khutbah. Khutbah yang biasanya terasa lama kali itu terasa sangat singkat sekali. Saat shalat Jumu’ah, hatiku benar-benar mendapatkan ketenangan yang luar biasa. Dalam sujudku aku berdoa semoga Allah mempertemukanku dengan ibu kandungku.
* * *
“Huh, papa capek sekali. Sudah seharian kita mencari tetapi kita mendapatkan petunjuk sedikitpun tentang keberadaannya. Bahkan papa tadi hampir celaka karena memperingatkan copet. Hh... Ta, besok papa tidak ikut dulu ya mencari mamamu, papa besok ada meeting penting di kantor.” Kesah papa.
“Nggak apa-apa Pa. Ata juga merasa lelah. Ata tidur dulu ya Pa, Ma,” kataku sambil bergerak menuju kamar.
Tet...tet...tet... Bel depan berbunyi. Sepertinya ada tamu. Tapi siapa orang yang bertamu semalam ini? Bukankah ini sudah jam sepuluh malam? Aku mengurungkan niatku untuk langsung tidur.
“Biar aku aja Ma yang buka,” kataku sambil menuju pintu depan.
Mataku sudah kriyap-kriyep ingin tidur. Aku buka pintu dengan pelan-pelan dan kukucek-kucek mataku. Aku melihat seorang perempuan di depanku.
“Ada apa ya Mb...” kataku hendak bertanya.
Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Benarkah itu mamaku, ibu kandungku yang sudah menghilang selama empat belas tahun? Meski tak percaya aku segera memeluknya dengan erat disertai tangis haru.
“Ibu,”
“Iya Nak, ini ibu, ibu kandungmu. Maafkan ibu, selama ini ibu telah meninggalkanmu.” Kata mamaku sambil memelukku dengan erat pula.

Sejak dulu aku memanggilnya ibu. Panggilan mama mulai kugunakan saat aku diasuh mama Dewi. Kami berdua berpelukan selama satu menit dengan tangis haru dan rindu. Kami saling meminta maaf. Aku bersyukur Allah telah menjawab doaku tadi siang. Doa yang aku panjatkan dengan sepenuh hati dan segenap jiwa. Aku sungguh merasa bahwa Allah sangat sayang kepadaku. Allah telah memberiku nikmat yang sangat banyak selama ini. Dan aku merasa bahwa syukur yang aku panjatkan selama ini sangatlah tidak sebanding degan rahmat-Nya yang begitu besar kepadaku.

* * *

 Setelah tiga hari berjumpa kembali, akhirnya mama Indah menceritakan apa yang sebenarnya terjadi kepada dirinya empat belas tahun lalu. dia menceritakan mengapa kejadian mengerikan dan menyedihkan itu bisa terjadi.
“Sebenarnya waktu itu ibu diancam oleh atasan ibu bahwa dia akan membunuh Mas Bahri, ayah kamu. Dia juga mengancam akan membunuh kamu kalau ibu tidak mau melayani nafsu bejatnya. Dia juga menjanjikan mama uang sepuluh juta untuk membayar hutang ayah. Ibu juga sebenarnya sudah menolak, tetapi dia menghipnotis ibu. Dan ibu baru sadar setelah melihat ayahmu terjatuh,” kata mama dengan sesenggukan sesekali.
“Waktu itu ibu langsung diseret atasan ibu menuju sebuah hotel di kota. Beruntunglah waktu itu ada razia yang dilakukan Satpol PP sehingga ibu tidak jadi diperkosa olehnya. Ibu lalu pergi ke rumah teman ibu di dekat hotel itu dan tinggal di sana. Dan alasan kenapa ibu selama ini menghindar dari kamu adalah karena waktu itu ibu pernah lihat kamu bahagia sekali bersama Paman Riza dan Bibi Dewi. Ibu tidak ingin mengganggu kebahagiaanmu Nak,” lanjutnya.

Aku merasa kasihan dengan ibuku. Aku menyesal telah membencinya dan mendoakannya celaka. Namun, aku juga merasa bahagia karena sekarang kami telah berjumpa kembali dan tinggal bersama. Ibu, maafkanlah segala kesalahan anakmu ini.[]
*Sekretaris Mading 2007-2008
MA NU TBS Kudus

0 komentar:

Posting Komentar

About Magazine

Foto saya
ATH THULLAB adalah majalah tahunan Madrasah NU TBS Kudus, yang di terbitkan oleh segenap PP-IPNU MA NU TBS. ATH THULLAB sekarang sudah mengijak pada edisi 17 dengan tampilan yang apik dan mengalami rovolusi serta pembaruan di berbagai rubrik. Akhir kata, Selamat membaca..

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More