Istilah kitab
kuning pada mulanya diperkenalkan justru oleh kalangan luar pesantren sekitar
dua dasawarsa silam dengan pandangan yang seolah-olah merendahkan. Menurut
mereka, kitab kuning itu berbobot rendah, ketinggalan zaman, dan menyebabkan
terjadinya stagnasi berpikir umat. Memang pernyataan semacam ini sangat
menyakitkan, tapi toh kemudian istilah kitab kuning itu sendiri dapat diterima
sebagai salah satu istilah teknis dalam studi kepesantrenan, meskipun masih
banyak kalangan yang lebih apresiatig menyebut kitab kuning dengan istilah yang lebih valid terhadap
format kitab kuning itu sendiri, seperti kitab klasik dan al-kutub al-qadimah.
Selain itu,
karena tidak dilengkapi dengan sandangan, kitab kuning juga kerap disebut
dengan istilah “kitab gundul”, dan karena rentang waktu sejarah
yang sangat
jauh dan kemunculannya, tak lazim juga kitab kuning itu dikenal dengan kitab
salaf atau kuno.
Sementara itu,
pengertian yang umum beredar di kalangan pemerhati kepesantrenan adalah bahwa
kitab kuning merupakan kitab-kitab keagamaan yang berbahasa arab, atau hanya berhuruf
arab, sebagai produk dari para Ulamasalaf yang ditulis dengan format khas
pra-modern sebelum sekitar abad ke-17 M. Menurut mereka definisi kitab kuning
itu sendiri dibedakan menjadi 3 definisi. Yang pertama yaitu kitab-kitab yang
ditulis oleh Ulama’-Ulama’ asing, tapi secara turun-temurun menjadi referensi
yang dibuat pedoman oleh para Ulama’ Indonesia. Definisi yang kedua adalah kitab-kitab
yang ditulis oleh Ulama’ Indonesia sebagai karya tulis yang independen. Dan
definisi yang ketiga yaitu bahwa ktab kuning ialah kitab-kitab yang ditulis
oleh para Ulama’ Indonesia sebagai komentar atau hanya terjemahan atas
kitab-kitab hasil karya Ulama’ asing.
Dalam tradisi
intelektual Islam khususnya di Timur Tengah, dikenal dua istilah untuk
mengkategorikan karya-karya ilmiah berdasarkan kurun waktu dan format
penulisannya. Kategori yang pertama disebut alkutub alqadimah (kitab-kitab
klasik) dan kategori yang kedua disebut alkutub alashriyah (kitab modern).
Adapun perbedaan di antara kedua kategori tersebut antara lain dari cara
penulisannya yang tidak mengenal pemberhentian, tanda baca, dan kesan bahasanya
yang berat, klasik, dan tanpa syakl pada kategori yang pertama. Dan memang pada
umumnya, kitab kuning itu mengacu pada kategori ini, yaitu alkutub alqadimah.
Ada banyak
karakteristik yang membedakan antara kitab kuning dengan kitab lainnya, di
antaranya terletak pada formatnya yang terdiri dari dua bagian, yaitu matn
(inti) dan syarh (penjelas matn).juga terletak pada bentuk fisiknya yang pada
umumnya terbagi menjadi beberapa jilid yang lazim disebut dengan istilah
kurasan.
Selain itu,
yang menjadi ciri dari kitab kuning dengan yang lainnya adalah dari metode
pengajarannya. Ada dua metode yang berkembang di lingkungan pesantren, yaitu
metode sorogan dan metode bandungan. Metode yang pertama, yaitu metode sorogan
dilakukan dengan cara santri yang membaca di hadapan kyai, sedangkan kyai yang
menyimak keabsahan bacaan santri. Metode yang kedua, yaitu metode bandungan
dilakukan dengan cara santri mendengar bacaan dan penjelasan kyai sambil
memberi catatan penjelas pada kitabnya.
Selain kedua
metode di atas, dewasa ini juga telah berkembang metode jalsah (diskusi) dan
halqah (seminar). Kedua metode ini lebih sering digunakan oleh tingkatan kyai
atau pengasuh pesantren untuk salah satunya membahas isu-isu kontemporer dengan
bahan-bahan pemikiran yang bersumber pada kitab kuning.
Penulis Ahmad Faris (MAU TBS Kelas X A)
Sumber:1. Mochtar, Affandi. 2001. Membedah diskursus pendidikan islam. Ciputat: Kalimah.2. Mastuhu. 1998. Principles of Education in Pesantren. Jakarta: P3M3. Yunus, Mahmud. 1979. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara.
0 komentar:
Posting Komentar