Sebuah
Cerpen untuk Anak Berbudi Luhur
By: Muhammad Fahmil Huda*
Bagi orang-orang, ibu
kandung adalah sosok yang sangat mulia. Dia adalah orang yang paling berjasa
bagi manusia. Sebab, tanpanya tak akan ada kehidupan di dunia ini. Dia adalah
orang yang pantas mendapatkan penghormatan dan pengabdian seorang anak. Dia
adalah orang yang harus dicintai dengan sepenuh hati. Namun, tidak demikian
bagiku. Bagiku ibu adalah orang yang paling kubenci. Dia adalah orang yang
seharusnya berada di neraka sekarang. Dia seharusnya meringkuk di dalam
penjara.
“Fatah, kamu dimana Nak?”
teriak Mama membangunkan lamunanku.
“Iya Ma,” aku segera
turun dari jendela dan keluar kamar menuju ruang tamu. “Ada apa Ma?” tanyaku
kemudian.
“Ikut Mama yuk, ke pasar.”
jawab mamaku.
“OK Ma, aku ambil
topi dan jaket dulu ya Ma,” kataku sambil berlari kembali ke kamarku.
Mama, ya, aku memang
memanggilnya dengan nama itu. Akan tetapi, sebenarnya dia bukan ibu kandungku.
Dia adalah adik ibuku. Aku sudah menganggapnya sebagai ibuku sendiri semenjak
empat belas tahun lalu, saat aku berumur empat tahun. Ketika itu ibuku membawa
seorang lelaki hidung belang ke rumah. Tidak disangka ayahku pulang cepat dan
memergoki mereka berdua sedang bermesraan di kamar. Penyakit asma ayahku kambuh
dan dia langsung meninggal di depan kamar. Ibuku terlihat kaget saat
melihatnya. Dia menangis dan memeluk tubuh ayahku yang sudah tak bernyawa.
Melihat ibuku menangis, akupun ikut menangis. Lelaki hidung belang yang bersama
ibuku terlihat agak ketakutan. Akhirnya dia mengajak ibuku kabur bersamanya
meninggalkanku sendirian bersama jasad ayahku.
* * *
Cuaca pagi itu sangat
cerah. Ada awan tipis yang menutupi matahari sehingga kami tidak terlalu
kepanasan. Mamaku belanja cukup banyak. Aku membawakan barang belanjaannya yang
berada di tas besar. Beratnya kira-kira lima kilo.
“Kamu haus nggak Ta,
kita mampir dulu yuk ke warung es cendol di sana” kata mamaku sambil menunjuk
sebuah warung di pinggiran pasar.
“Boleh, ayo Ma. Tapi
sekalian gorengannya ya,” kataku manja.
“Iya, kamu boleh
pilih apa saja kesukaanmu. Kan kamu sudah bantu Mama membawa barang belanjaan,”
kata mamaku.
Aku tersenyum
mendengarnya. Kami segera masuk ke dalam warung dan memesan dua gelas es
cendol. Segera kubaca basmalah dan kuminum es cendol itu. Wush... rasanya
begitu segar. Aku seperti merasakan minuman yang berasal dari surga. Memang
benar, sesuatu akan terasa nikmat bila didahului dengan pengorbanan.
“Bu, sedekahnya Bu,
kasihani saya,” kata seorang perempuan berjilbab saat kami sedang asyik meminum
es.
Mamaku segera merogoh
tas kecilnya dan mengeluarkan uang lima ribuan. “Ini, semoga cukup untuk
membeli makanan,” katanya kepada perempuan yang sedang menundukkan wajahnya
itu.
“Terima kasih Bu,
semoga Allah membalas amal baik ibu.” kata perempuan itu sambil beranjak pergi
menuju tengah pasar.
Kami berdua mengamini
doa perempuan itu. Aku melihat wajah wanita itu sekilas. Dan, masya’allah, aku
kenal wajah itu. Wajah itu sangat aku ingat dan tak mungkin bisa aku lupakan.
Itu adalah...
“Ibu, tunggu!”
teriakku sambil melambaikan tangan kepadanya.
Bukannya berbalik,
perempuan itu justru berlari dengan kencang. Aku beranjak dari tempat dudukku
untuk mengejar perempuan itu. Tetapi, mamaku langsung memegang tanganku.
“Ada apa Nak? Kamu
kenal dengan perempuan itu?” tanya mamaku penasaran.
“Ma, itu Mama.
Maksudku itu Mama Indah Ma, ibu kandungku!” jawabku dengan tergesa-gesa.
“Apa? Benarkah? Kalau
gitu kamu cepat kejar dia sebelum dia menghilang!” kata mamaku.
“Iya Ma.” Kataku
sambil berlari mengejarnya.
Entah mengapa, aku
begitu ingin bertemu dengannya. Padahal aku sudah bersumpah tidak akan peduli
dengan apapun yang dilakukannya. Aku sudah bersumpah tidak akan memaafkannya.
Namun, begitu aku melihat wajahnya tadi tiba-tiba mucul sebuah kerinduan yang
sangat besar dalam hatiku. Aku merasa seperti baru bertemu dengan orang yang
sangat aku kasihi setelah bertahun-tahun tidak bertemu.
Aku berlari sekuat
tenaga mengejarnya. Akhirnya aku bisa melihatnya sedang berlari di antara para
pembeli di pasar. Aku terus mengejarnya, berdesak-desakan dengan para pembeli. Jarak
kami hanya tinggal lima meter. Namun, tidak kusangka ibuku akan berlari
menerobos sekumpulan gadis muda yang cantik-cantik dan berpakaian mini. Aku
tidak berani untuk menerobos mereka sehingga aku pilih jalan memutar meski agak
jauh.
Aku kehilangan jejak
ibuku. Hatiku sungguh terasa sakit. Kenapa dia berlari dariku? Apakah dia pikir
aku akan benci padanya setelah apa yang diperbuatnya pada ayah? Ya Allah,
maafkanlah aku karena telah membencinya Ya Allah. Sekarang aku sadar bahwa
betapapun jahatnya seorang ibu, dia tetap ibuku yang pantas untuk aku cintai
dan aku sayangi. Oh, Ibu, kemanakah Engkau? Anakmu ini sangat rindu bertemu
denganmu...
* * *
“Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikumussalam
warohmatullah. Fatah, gimana Nak, kamu berhasil bertemu dengan ibumu?” tanya mamaku
sambil memelukku.
Aku hanya menggeleng.
Tangisku meledak. Aku tidak kuasa menahan rindu yang kurasakan. Ingin sekali
rasanya aku bertemu dengannya dan memeluknya seperti ini. Akan tetapi, sekarang
aku tidak tahu dimana dia berada.
“Sudahlah Nak, kamu
jangan sedih. Suatu saat nanti pasti kamu akan bertemu dan berkumpul lagi
bersamanya. Kamu jangan khawatir, ayah tahu ibumu juga pasti rindu denganmu,”
kata ayahku menghiburku.
“Ya sudah, sekarang
kita makan dulu yuk. Mama sudah masak sambel tempe kesukaanmu. Mama tadi juga
membawa pulang gorengan yang kamu minta.” Kata mamaku sambil mengusap air
mataku.
Kami menuju meja
makan. Mama mengambilkanku sepiring nasi beserta sayur kunci dan sambel tempe.
Aku paling suka makanan itu. Namun, entah mengapa siang itu aku tidak bernafsu
sedikitpun. Baru tiga sendok, aku sudah merasa kenyang. Aku memikirkan ibukuu.
Bagaimana dia sekarang? Apakah dia sudah makan? Apakah dia bisa makan enak?
Tadi kulihat dia meminta-minta. Apakah dia bisa makan setiap hari? Air mataku
kembali membasahi pipiku.
“Ata, dimakan dong
makanannya sayang. Kalau kamu tidak mau makan, nanti kamu sakit. Kalau kamu
sakit kan kamu tidak bisa mencari ibumu. Mama janji deh, besok mama dan papa
akan bantu kamu mencari mama Indah. Tapi sekarag kamu makan ya, biar besok kamu
punya tenaga untuk mencarinya seharian.” Kata mamaku mencoba menghiburku.
Kata-kata mama
sedikit menghiburku. Aku makan dengan disuapi olehnya. Meski begitu, aku tidak
bisa merasakan kelezatan masakan mama. Rasanya hambar. Di dalam hatiku aku
bersyukur sekali memiliki mama dan papa angkat yang sangat baik kepadaku. Mereka
benar-benar menyayangiku seperti anak mereka sendiri. Kalau saja mereka punya
anak kandung, pasti anak itu adalah anak yang paling beruntung di dunia. Dan
aku tidak tahu bagaimana perasaan mereka jika suatu hari nanti aku meninggalkan
mereka.
* * *
Pagi itu kami
melakukan pencarian mama Indah. Kami memulai pencarian dari pasar. Kami membawa
foto mama dan menanyakan kepada setiap pedagang apakah mereka tahu
keberadaanya. Lima jam kami mencari dan hasilnya nihil.
“Ata, kita pulang
yuk. Kita lanjutkan pencarian setelah shalat Jumu’ah,” kata ayah.
“Iya yah” kataku
dengan nada lesu.
“Jangan lesu dong,
semangat! Kita kan mau beribadah, jadi harus dengan segenap hati. Jangan sampai
ibadah kita terganggu.” Kata ayah menyemangatiku.
Hatiku tersentuh
mendengarnya. Benar kata ayah, aku boleh sedih, tetapi aku tidak boleh
membiarkan kesedihanku mengganggu ibadahku. Setelah pulang dan mandi, aku
berangkat ke masjid dengan membawa seribu semangat dan seribu satu pengharapan.
Di dalam masjid aku
mendengarkan khutbah dengan seksama. Entah mengapa, saat itu aku tidak
mengantuk sedikitpun. Padahal biasanya aku selalu mengantuk saat mendengarkan
khutbah. Khutbah yang biasanya terasa lama kali itu terasa sangat singkat
sekali. Saat shalat Jumu’ah, hatiku benar-benar mendapatkan ketenangan yang
luar biasa. Dalam sujudku aku berdoa semoga Allah mempertemukanku dengan ibu
kandungku.
* * *
“Huh, papa capek
sekali. Sudah seharian kita mencari tetapi kita mendapatkan petunjuk sedikitpun
tentang keberadaannya. Bahkan papa tadi hampir celaka karena memperingatkan
copet. Hh... Ta, besok papa tidak ikut dulu ya mencari mamamu, papa besok ada
meeting penting di kantor.” Kesah papa.
“Nggak apa-apa Pa. Ata
juga merasa lelah. Ata tidur dulu ya Pa, Ma,” kataku sambil bergerak menuju
kamar.
Tet...tet...tet...
Bel depan berbunyi. Sepertinya ada tamu. Tapi siapa orang yang bertamu semalam
ini? Bukankah ini sudah jam sepuluh malam? Aku mengurungkan niatku untuk
langsung tidur.
“Biar aku aja Ma yang
buka,” kataku sambil menuju pintu depan.
Mataku sudah
kriyap-kriyep ingin tidur. Aku buka pintu dengan pelan-pelan dan kukucek-kucek
mataku. Aku melihat seorang perempuan di depanku.
“Ada apa ya Mb...”
kataku hendak bertanya.
Aku tidak percaya
dengan apa yang kulihat. Benarkah itu mamaku, ibu kandungku yang sudah
menghilang selama empat belas tahun? Meski tak percaya aku segera memeluknya
dengan erat disertai tangis haru.
“Ibu,”
“Iya Nak, ini ibu,
ibu kandungmu. Maafkan ibu, selama ini ibu telah meninggalkanmu.” Kata mamaku
sambil memelukku dengan erat pula.
Sejak dulu aku
memanggilnya ibu. Panggilan mama mulai kugunakan saat aku diasuh mama Dewi. Kami
berdua berpelukan selama satu menit dengan tangis haru dan rindu. Kami saling
meminta maaf. Aku bersyukur Allah telah menjawab doaku tadi siang. Doa yang aku
panjatkan dengan sepenuh hati dan segenap jiwa. Aku sungguh merasa bahwa Allah
sangat sayang kepadaku. Allah telah memberiku nikmat yang sangat banyak selama
ini. Dan aku merasa bahwa syukur yang aku panjatkan selama ini sangatlah tidak
sebanding degan rahmat-Nya yang begitu besar kepadaku.
* * *
Setelah tiga hari berjumpa kembali, akhirnya
mama Indah menceritakan apa yang sebenarnya terjadi kepada dirinya empat belas
tahun lalu. dia menceritakan mengapa kejadian mengerikan dan menyedihkan itu
bisa terjadi.
“Sebenarnya waktu itu
ibu diancam oleh atasan ibu bahwa dia akan membunuh Mas Bahri, ayah kamu. Dia
juga mengancam akan membunuh kamu kalau ibu tidak mau melayani nafsu bejatnya.
Dia juga menjanjikan mama uang sepuluh juta untuk membayar hutang ayah. Ibu juga
sebenarnya sudah menolak, tetapi dia menghipnotis ibu. Dan ibu baru sadar
setelah melihat ayahmu terjatuh,” kata mama dengan sesenggukan sesekali.
“Waktu itu ibu
langsung diseret atasan ibu menuju sebuah hotel di kota. Beruntunglah waktu itu
ada razia yang dilakukan Satpol PP sehingga ibu tidak jadi diperkosa olehnya. Ibu
lalu pergi ke rumah teman ibu di dekat hotel itu dan tinggal di sana. Dan
alasan kenapa ibu selama ini menghindar dari kamu adalah karena waktu itu ibu pernah
lihat kamu bahagia sekali bersama Paman Riza dan Bibi Dewi. Ibu tidak ingin
mengganggu kebahagiaanmu Nak,” lanjutnya.
Aku merasa kasihan
dengan ibuku. Aku menyesal telah membencinya dan mendoakannya celaka. Namun,
aku juga merasa bahagia karena sekarang kami telah berjumpa kembali dan tinggal
bersama. Ibu, maafkanlah segala kesalahan anakmu ini.[]
*Sekretaris Mading
2007-2008
MA NU TBS Kudus
0 komentar:
Posting Komentar