Rabu, 22 Februari 2012

Metode Belajar Musyawarah


          Sejak dulu, komunitas ini kian hari kian berkembang. Penjajahpun tak mampu memecah belahnya apalagi mengusiknya. Sampai sekarang, sosok santri selalu tetap eksis dan kehadirannya mewarnai wajah pendidikan di Indonesia.     
          “Carilah ilmu dari buaian sampai liang lahat”. Mungkin itulah salah satu pedoman santri sehingga selalu tetap konsisten dalam mencari ilmu. Tak kenal waktu, tak peduli umur. Komunitas yang didominasi oleh kawula muda ini jarang disorot publik meskipun telah dikenal berabad-abad lamanya. Padahal, mereka memiliki segudang kelebihan yang patut ditiru dan diterapkan dalam keseharian masyarakat, lebih-lebih oleh pelajar berpendidikan formal di Indonesia. Sebagian kecil diantara kelebihan mereka adalah metode belajar yang secara turun-temurun memang sangat ampuh untuk dapat memahami pelajaran atau fan ilmu yang masyhur dengan sebutan musyawarah atau dalam bahasa resminya disebut diskusi.
Metode ini sering digunakan santri untuk lebih memahami suatu kitab atau pelajaran tertentu. Jenis pelajarannyapun bermacam-macam, diantaranya musyawarah fiqh dan nahwu.

            Seringkali kita jumpai di kalangan santri yakni kegiatan bahtsul masa’il atau lebih simpelnya disebut musyawarah. Didalam musyawarah ini, ada 2 jenis cara berbeda yang sering digunakan oleh santri. Pertama, sebelum musyawarah dimulai, acapkali ada sebagian santri yang mengajukan pertanyaan seputar fiqhiyyah sehingga santri lain yang tidak menjadi sa’il (penanya) dapat langsung mencari ta’bir (jawaban beserta alasan) via kitab fiqh. Disini dapat kita ketahui, bahwa santri tersebut tidak mencari jawaban saja, melainkan juga mencari alasan yang rasional sesuai dengan referensi kitab yang dijadikan pedoman. Selain itu, di dalam mencari jawaban, mereka sama sekali tidak meminta bantuan Pak Kyai ataupun pembimbing. Kalaupun ada, itupun hanya sekedar menanyakan seputar soal yang mungkin agak njelimet.

            Pada saat pelaksanaan musyawarah (dalam metode ini), mereka (yang bukan sa’il) dituntut untuk menjawab dengan alasan masing-masing sesuai dengan referensi kitab yang mayoritas berbeda. Apabila ditemukan perbedaan jawaban, maka pihak yang berseberangan harus saling beradu argumen untuk mempertahankan jawaban masing-masing. Inilah saat-saat yang paling ditunggu-tunggu dan menjadi bagian konflik dalam musyawarah. Sesudah salah satu dari mereka ada yang menyerah, atau tak satupun yang mau mengalah, maka jawaban bisa langsung dipertimbangkan melalui dewan perumus dan dewan mushohhih (dewan pengesah). Dapat disimpulkan bahwa tugas Pak Kyai dan pembimbing hanya mempertimbangkan jawaban yang masuk dan memecahkan konflik permasalahan. Sedangkan santri harus benar-benar berjibaku sekuat tenaga, akal dan pikiran, mengingat metode ini menuntut mereka untuk berkembang secara mandiri tanpa bantuan orang lain, sehingga keberanian dan ketrampilan santri dalam berargumen benar-benar terlatih secara mumpuni. Metode ini cenderung sering digunakan dalam fan fiqh saja.

            Kedua, musyawarah yang menuntut santri untuk benar-benar dapat membaca dan memahami isi kitab salaf. Pasalnya, salah seorang santri harus membaca dan menjelaskan isi kitab salaf terlebih dahulu, sementara santri yang lain mendengarkan kemudian menanyakan tentang tarkib atau makna ataupun murod (penjelasan) bila ada yang merasa janggal terhadap bacaan si Qori’ (pembaca). Setelah itu, apabila terdapat kontradiksi antara si Qori’ dengan si Mustami’ (pendengar), maka antara keduanya diharuskan untuk beradu argumen berdasarkan referensi kitab masing-masing. Disini kita dapat mengetahui untuk yang kesekian kalinya bahwa si santri memang harus selalu berkutat dengan bermacam-macam kitab sehingga dirinya memiliki banyak wawasan untuk berargumen. Oleh karenanya, pengetahuan mereka bisa dibilang mencapai cakupan yang amat luas, sehingga setelah menyelesaikan studinya, mereka dapat diuji ketrampilan dan kecakapannya akan ilmu agama oleh masyarakat. Untuk metode yang kedua ini bisa digunakan untuk berbagai macam pelajaran yang diinginkan.

            Demikianlah sekilas tentang metode belajar santri yang memang benar-benar terbukti ampuh dipandang dari keberhasilan santri di tengah-tengah masyarakat pada saat ini. Semoga kita dapat meniru cara belajar mereka atau malah pemerintah dapat mengadopsi metode mereka sehingga kualitas pendidikan di Indonesia menjadi lebih maju dan berkembang.

            *)Oleh: Ahmad Fakhri Azizi, Sekretaris Writer Society of TBS 2009

0 komentar:

Posting Komentar

About Magazine

Foto saya
ATH THULLAB adalah majalah tahunan Madrasah NU TBS Kudus, yang di terbitkan oleh segenap PP-IPNU MA NU TBS. ATH THULLAB sekarang sudah mengijak pada edisi 17 dengan tampilan yang apik dan mengalami rovolusi serta pembaruan di berbagai rubrik. Akhir kata, Selamat membaca..

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More